EI / D
|
EI/D
|
Hubungan
Agama dan Negara
Makalah
ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah kewarganegaraan
Dosen
Pengampu : SAINUL,
SH.MA
Disusun oleh Kelompok 1
1. Ana Khumairoh
2. Andiyansyah
3. Andre Windi arto
4. Angga Depri Prastya
5. Anggi Asmatara
|
6. Anggun Aprianes
7. Cantik Apriliani
8. Dian Tri Wibowo
9. Dita Damayanti
10. Eko Budi Setiawan
|
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
JURAI
SIWO METRO
T.A 2012/2013
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan taufiq, rahmat dan
hidayah-Nya sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah ini. Makalah dengan judul “Hubungan Agama dan Negara” ini
bermaksud untuk memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan Kewargaan.
Terima kasih kami sampaikan
kepada Bapak
Sainul,SH.MA yang telah membimbing kami selama
penyelesaian makalah ini.
Tak ada gading yang tak retak, kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh
dari kata sempurna, kami mohon maaf atas banyaknya kesalahan dalam penulisan
makalah ini. Kritik dan saran yang membangun dari pembaca sangat kami harapkan
guna perbaikan makalah ini.
Metro, November 2012
Penyusun
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL............................................................................ i
KATA PENGANTAR......................................................................... ii
DAFTAR ISI......................................................................................... iii
BAB I PEMBAHASAN....................................................................
A.
Agama................................................................................ 1
B.
Negara................................................................................ 1
C.
Hubungan .......................................................................... 3
D.
Konsep Relasi Agama dan Negara dalam Negara............. 5
BAB II PENUTUP...............................................................................
A.
Kesimpulan........................................................................ 9
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................
BAB II
PEMBAHASAN
A. Agama
1. Pengertian agama
Secara sederhana, pengertian agama dari segi bahasa
dapat kita ikuti antara lain uraian yang diberikan harun nasutian. Menurutnya,
dalam masyarakat Indonesia selain dari kata agama, dikenal pula kata din dari
bahasa Arab dan kata religi dalam bahasa Eropa. Menurutnya, agama berasal dari
kata Sanskrit. Menurut satu pendapat, demikian harun nasution mengatakan, kata
itu tersusun dari dua kata, a = tidak dan gam = pergi, jadi agama artinya tidak
pergi, tetap ditempat, diwarisi secara turun-temurun dari satu generasi
kegenerasi lainnya selanjutnya ada lagi pendapat yang mengatakan bahwa agama
berarti teks atau kitab suci, dan agama-agama memang mempunyai ktiab-kitab
suci. Pengertian ini tampak menggambarkan salah satu fungsi agama sebagai
turunan bagi kehidupan manusia.
B. Negara
1. Pengertian Negara
Secara literal istilah Negara
merupakan terjemahan dari kata-kata asing, yakni state (bahasa Inggris), state
(Bahasa Belanda dan Jerman) dan etat (Bahasa Prancis), kata staat, state, etat
itu diambil dari kata bahasa Latin status atau statum, yang berarti keadaan
yang tegak dan tetap atau sesuatu yang memiliki sifat-sifat yang tegak dan
tetap.
Secara terminologi Negara diartikan
dengan organisasi tertinggi di antara satu kelompok masyarakat yang mempunyai
pemerintahan yang berdaulat.
2. Tujuan Negara
a.
Memperluas kekuasaan
b.
Menyelenggarakan ketertiban
hukum
c.
Mencapai kesejahteraan umum
Menurut plato, memajukan kesusilaan
manusia, sebagai perseorangan (individu) dan sebagai makhluk sosial.
Menurut Koger H. Soltau,
Memungkinkan rakyatnya berkembang serta menyelenggarakan daya ciptanya sebebas
mungkin.
3. Unsur-unsur Negara
a.
Rakyat (masyarakat/warga
Negara)
Sangat
penting dalam sebuah Negara, karena secara kongkret rakyatlah yang memiliki
kepentingan agar Negara itu dapat berjalan dengan baik.
b.
Wilayah
Wilayah
dalam sebuah Negara merupakan unsur yang harus ada, karena tidak mungkin ada
Negara tanpa ada batas: teritorial yang jelas.
c.
Pemerintah
Pemerintah
adalah alat kelengkapan Negara yang bertugas memimpin organisasi Negara untuk
mencapai tujuan Negara.
4. Bentuk-bentuk Negara
a.
Negara kesatuan
Bentuk suatu Negara yang merdeka dan
berdaulat, dengan satu pemerintah pusat yang berkuasa dan mengatur seluruh
daerah. Dalam pelaksanaannya, Negara kesatuan ini terbagi dalam 2 (dua) macam,
yaitu:
1)
Negara kesatuan dengan sistem
sentralisasi, yakni sistem pemerintahan yang seluruh persoalan yang berkaitan
dengan Negara langsung diatur dan diurus oleh pemerintah pusat, sementara
daerah-daerah tinggal melaksanakannya.
2)
Negara kesatuan dengan sistem
desentralisasi, yakni kepala daerah diberikan kesempatan dan kekuasaan untuk
mengurus rumah tangganya sendiri atau dikenal dari otonomi daerah atau
swatantra.
b. Negara serikat (Federasi)
Kekuasaan asli dalam Negara federasi
merupakan tugas Negara bagian karena ia berhubungan langsung dengan rakyatnya.
Sementara Negara Federasi bertugas untuk menjalankan hubungan luar negeri,
pertahanan Negara, keuangan, dan urusan pos.
C. Hubungan
Agama dan Negara
Agama adalah bersumber pada wahyu
Tuhan yang sifatnya mutlak, sedangkan
Negara adalah merupakan suatu persekutuan hidup bersama sebagai penjelmaan
sifat kodrat manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial. Oleh karena
itu, sifat dasar kodrat manusia tersebut merupakan sifat dasar negara. Sehingga
negara sebagai manifestasi kodrat manusia secara horizontal dalam hubungan
dengan manusia lain untuk mencapai tujuan bersama.
Negara dan agama merupakan persoalan
yang banyak menimbulkan perdebatan (discourse) yang terus berkelanjutan di
kalangan para ahli. Hal ini disebabkan oleh perbedaan pandangan dalam
menerjemahkan agama sebagai bagian dari Negara atau Negara merupakan bagian
dari agama.
Dalam memahami hubungan agama dan
Negara ini, akan dijelaskan beberapa konsep hubungan agama dan Negara menurut
beberapa aliran, antara lain paham teokrasi, paham sekuler dan paham komunis.
Paham
teokrasi
Paham
sekuler
Paham
komunis
|
:
:
:
|
Negara
menyatu dengan agama, karena pemerintah menurut paham ini dijalankan
berdasarkan firman-firman Tuhan. Segala tata kehidupan dalam
masyarakat-bangsa, dan Negara dilakukan atas titah Tuhan.
Norma
hukum ditentukan atas kesepatakan manusia dan tidak berdasarkan agama atau
firman-firman Tuhan, meskipun norma-norma tersebut bertentangan dengan
norma-norma agama.
Kehidupan
manusia adalah dunia manusia itu sendiri yang kemudian menghasilkan
masyarakat Negara. Sedangkan agama dipandang sebagai realisasi fantastis
makhluk manusia, dan agama merupakan keluhan makhluk tertindas.
|
1. Hubungan
Agama dan Negara Menurut Paham Teokrasi
Dalam perkembangan, paham teokrasi terbagi kedalam dua
bagian, yakni paham teokrasi langsung dan paham teokrasi tidak langsung. Menurut
paham teokrasi langsung, pemerintah diyakini sebagai otoritas Tuhan secara
langsung pula. Adanya Negara didunia ini adalah atas kehendak Tuhan, dan oleh
karena itu yang memerintah adalah Tuhan pula.
Sementara menurut sistem pemerintahan teokrasi tidak langsung
yang memerintah bukanlah Tuhan sendiri, melainkan yang memerintah adalah raja
atau kepala yang memiliki otoritas atas nama Tuhan, kepala Negara atau raja
diyakini memerintah atas kehendak Tuhan.
2. Hubungan
Agama dan Negara Menurut Paham Sekuler
Selain paham teokrasi, terdapat pula
paham sekuler dalam praktik pemerintahan dalam kaitan hubungan agama dan
Negara. Paham sekuler memisahkan dan membedakan antara agama hubungan agama dan
Negara. Dalam negera sekuler, tidak ada hubungan antar system kenegaraan dengan
agama. Dalam paham ini, Negara adalah urusan hubungan manusia dengan manusia
lain, atau urusan dunia. Sedangkan agama adalah hubungan manusia dengan Tuhan.
Dua hal ini menurut paham sekuler tidak dapat disatukan.
Dalam Negara sekuler, sistem dan
norma hukum positif dipisahkan dengan nilai dan norma agama. Norma hukum
ditentukan atas kesepakatan manusia dan tidak berdasarkan agama atau
firman-firman Tuhan, meskipun mungkin norma-norma tersebut bertentangan dengan
norma-norma agama. Sekalipun paham ini memisahkan antara agama dan Negara, akan
tetapi pada lazimnya Negara sekuler membebaskan warga negaranya untuk memeluk
agama apa saja yang mereka yakini dan Negara intervensif dalam urusan agama.
3. Hubungan
Agama dan Negara Menurut Paham Komunisme
Paham komunisme memandang hakikat
hubungan Negara dan agama berdasarkan pada filosofi materialisme – dialektis
dan materialisme – historis. Paham ini menimbulkan paham atheis. Paham yang
dipeolopori oleh Karl Marx ini, memandang agama sebagai candu masyarakat.
Menurutnya, manusia ditentukan oleh dirinya sendiri. Sementara agama, dalam
menemukan dirinya sendiri.
Kehidupan manusia adalah dunia
manusia itu sendiri yang kemudian menghasilkan masyarakat Negara. Sedangkan
agama dipandang sebagai realisasi fantastis makhluk manusia dan agama merupakan
keluhan makhluk tertindas. Oleh karena itu, agama merupakan keluhan makhluk
tertindas dalam Negara adalah materi, karena manusia sendiri pada hakekatnya
adalah materi.
D. Konsep Relasi Agama dan
Negara dalam Islam
Dalam lintasan historis Islam, hubungan
agama dengan negara dan sistem politik menunjukkan fakta yang sangat beragam.
Banyak para ulama tradisional yang beragumentasi bahwa Islam merupakan sistem
kepercayaan dimana agama memiliki hubungan erat dengan politik. Islam
memberikan pandangan dunia dan makna hidup bagi manusia termasuk bidang politik. Dari sudut pandang ini
maka pada dasarnya Islam tidak ada pemisahan antara agama dan politik.
Ketegangan perdebatan tentang hubungan agama
dan negara ini diilhami oleh hubungan yang agak canggung antara islam. Sebagai
agama (din) dan negara (dakwah), agama dan negara merupakan suaru kesatuan yang
tidak dapat terpisahkan. Keduanya merupakan dua lembaga politik dan sekaligus
lembaga agama.
1.
Paradigma integralistik
Agama dan negara
merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan keduanya merupakan lembaga
yang menyatu dan dinyatakan bahwa negara merupakan satu lembaga.
2.
Paradigma simbiotik
Antara negara dan agama
adalah dua identitas yang berbeda. Tetapi saling membutuhkan. Oleh karenanya,
konstitusi yang berlaku dalam paradigma ini tidak saja berasal dari socialiti
contact tapi bisa saja diwarnai oleh hukum agama (syari’at).
3.
Paradigma sekularistik
Agama dan negara
merupakan dua bentuk yang berbeda, dan satu sama lain memiliki garapannya
dibidang masing-masing. Sehingga keberadaanya harus dipisahkan dan tidak boleh
satu sama lain melakukan interfensi berdasar pada pemahaman yang dikotomis ini.
Maka, hukum positif yang berlaku adalah hukum yanng betul-betul berasal dari
kesepakatan manusia. Berbicara mengenai hubungan negara dan agama di indonesia
merupakan persoalan yang menarik untuk dibahas, penyebabnya bukan karena
penduduk indonesia mayoritas islam tetapi karena persoalan yang muncul sehingga
menjadi perdebatan dikalangan beberapa ahli. Untuk mengkaji lebih dalam
mengenai hal tersebut maka hubungan agama dan negara dapat digolongkan menjadi
dua, yaitu:
a.
Hubungan agama dan negara yang
bersifat antagonistik
Maksud hubungan antagonistik adalah sifat
hubungan yang mencirikan adanya ketegangan antara negara dengan islam sebagai
sebuah agama. Sebagai contohnya adalah pada masa kemerdekaan dan sampai pada masa
revolusi
politik islam pernah dianggap sebagai pesaing kekuasaan yang dapat mengusik
basis kebangsaan negara. Sehingga presepsi tersebut membawa implikasi keinginan negara untuk
berusaha menghalangi dan melakukan domestika terhadap ideologi politik islam.
Hubungan agama dan negara pada masa ini dikenal
dengan antagonistik, dimana negara betul-betul mencurigai islam sebagai kekuatan
potensial dalam menandingi eksistensi negara. Disisi lain, umat islam sendiri pada masa itu
memiliki gairah atau semangat yang tinggi untuk mewujudkan islam sebagi sumber ideologi dalam
menjalankan pemerintahan.
b.
Hubungan agama dan negara yang
bersifat akomodatif
Maksud hubungan akomodatif adalah sifat
hubungan dimana negara dan agama satu sama lain saling mengisi bahkan ada
kecenderungan memiliki kesamaan untuk mengurangi konflik.
Pemerintah menyadari bahwa umat islam
merupakan kekuatan politik yang potensial, sehingga negara mengakomodasi islam.
Jika islam ditempatkan sebagai out-side Negara maka konflik akan sulit
dihindari yang akhirnya akan mempengaruhi NKRI.
Sejak pertengahan tahun 1980 an, ada
indikasi hubungan antara islam dan negara mulai mencair, menjadi lebih
akomodatif dan integratif. Hal ini ditandai dengan semakin dilonggarkannya
politik islam serta dirumuskannya sejumlah kebijakan yang dianggap positif oleh
sebagian ( besar ) masyarakat islm.
Kebijakan-kebijakan itu berkembang luas, ada yang
bersifat :
1.
Struktural, yaitu dengan
semakin terbukanya bagi para aktifis islam untuk terintegrasi kedalam negara.
2.
Legislatif, misalnya
disahkannya sejumlah undang-undang yang dinilai akomodatif terhadap kepentingan
islam.
3.
Infrastructural, yaitu dengan
semakin tersedianya infrastruktur-infrastruktur yang diperlukan umat islam
dalam menjalankan : tugas-tugas keagamaan.
4.
Kultural, misalnya menyangkut
akomodasi negara terhadap islam menggunakan idium-idium perbendaharaan bahasa
pranata ideologis maupun politik.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Jadi, dapat simpulkan bahwa hubungan islam dan negara berawal
dari hubungan antagonistik yang lambat laun menjadi akomodatif dan sikap
akomodatif muncul ketika umat islam Indonesia dinilai telah semakin memahami
kebijakan negara, terutama dalam masalah ideologi pancasila. Oleh karena itu
sintesa dimungkinkan dapat terjadi. Artikulasi pemikiran dan praktek politik
islam yang legalistik dan formalistik sebagai penyebab ketegangan antar islam
dan negara. Sedangkan wacana intelektualisme dan aktifisme politik islam yang
substansialistik merupak modal dasar.
DAFTAR PUSTAKA
Azra,
Azyumardi.2003.Demokrasi, Hak Asasi Manusia Masyarakat Madani. Jakaarta : ICCE
UIN
http://petuahmoenir.blogspot.com/2008/10/gamal-al-banna-relasi-agama-dan-negara.html
http://hubungan
islam dan Negara di Indonesia.
0 komentar:
Posting Komentar