Perkembangan
dunia digital, khususnya internet saat ini sudah begitu mengglobal. Internet
bukan lagi suatu hal yang baru dalam fase pertumbuhan dan perkembangan
teknologi. Perkembangan teknologi yang sangat pesat ini telah membawa banyak
perubahan bagi pola kehidupan sebagian masyarakat Indonesia.
Pola kehidupan
tersebut terjadi hampir di semua bidang, baik sosial, budaya, perdagangan dan
bidang lainnya. Dalam bidang perdagangan, internet mulai banyak dimanfaatkan
sebagai media aktivitas bisnis terutama
karena kontribusinya terhadap efisiensi. Aktivitas perdagangan melalui media
internet ini populer disebut dengan
electronic commerce (e-commerce). E-commerce tersebut terbagi atas dua segmen yaitu
business to business e-commerce
(perdagangan antar pelaku usaha) dan business to consumer e-commerce
(perdagangan antar pelaku usaha dengan konsumen).
Perkembangan teknologi informasi yang sangat pesat
menimbulkan adanya suatu gaya baru dalam sistem perdagangan. Beberapa tahun
terakhir perdagangan online semakin marak terjadi di Indonesia. Sebut saja
Kaskus, berniaga.com, bahkan online shop yang menggunakan facebook atau
handphone sebagai alat pemasarannya. Orang-orang berlomba untuk meraup
keuntungan dan pendapatan yang lebih dengan memanfaatkan teknologi informasi
ini. Tidak dapat dipungkiri lagi, Online Shop menjadi salah satu alternatif
yang paling menarik bagi konsumen untuk berbelanja selain berbelanja secara
fisik.
Bagi pelaku usaha, online shop dianggap menarik karena
tidak memerlukan modal yang besar, pasar yang besar karena internet dapat
diakses oleh para konsumen dari seluruh dunia, dan lainnya. Sedangkan bagi para
konsumen, berbelanja di online shop dianggap lebih menarik karena harga yang
ditawarkan biasanya lebih murah daripada berbelanja secara fisik. Namun dibalik
semua kemudahan tersebut, online shop masih menyisakan beberapa persoalan tertutama
dalam perlindungan konsumen seperti permasalahan mengenai penipuan, atau barang
yang tidak sesuai dengan yang ditawarkan.
Salah seorang
pakar internet Indonesia, Budi Raharjo menilai bahwa, Indonesia memiliki
potensi dan prospek yang cukup menjanjikan untuk pengembangan e-commerce. Berbagai kendala yang dihadapi
dalam pengembangan e-commerce ini seperti keterbatasan infrastruktur, jaminan
keamanan transaksi dan terutama sumber daya manusia bisa diupayakan sekaligus
dengan upaya pengembangan pranata e-commerce itu .
Bagaimanapun,
kompetensi teknologi dan manfaat yang diperoleh memang seringkali harus melalui proses yang cukup panjang.
Namun mengabaikan pengembangan kemampuan teknologi akan menimbulkan ekses
negatif di masa depan. Keterbukaan dan sifat proaktif serta antisipatif
merupakan alternatif yang dapat dipilih dalam menghadapi dinamika perkembangan
teknologi.
Learning by
doing adalah alternative terbaik untuk
menghadapi fenomena e-commerce karena
mau tak mau Indonesia sudah menjadi bagian dari pasar e-commerce global. Meski
belum sempurna , segala sarana dan pra-sarana yang tersedia dapat dimanfaatkan
sambil terus direvisi selaras dengan perkembangan mutakhir.
E-commerce
telah banyak digunakan seiring dengan meningkatnya pengguna internet di
Indonesia. Menurut data Departemen Telekomunikasi, jumlah pengguna internet
pada bulan februari 2008 mencapai 25 juta pengguna dan diprediksi akan mencapai
40 juta pengguna pada akhir tahun 2008. Sebelum keluarnya Undang-undang No.11
tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE),
kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan e-commerce diatur dalam berbagai
peraturan perundang-undangan seperti Undang-undang nomor 12 tahun 2002 tentang
Hak Cipta, Undang-undang nomor 14 tahun 2001 tentang Paten, Undang-undang nomor
15 tahun 2001 tentang Merek, Undangundang Telekomunikasi nomor 36 tahun 1999,
Undang-undang nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, dan lain-lain.
Kekosongan
hukum yang mengatur tentang E-commerce menimbulkan masalah-masalah seperti :
1. Otentikasi
subyek hukum yang membuat transaksi melalui internet;
2. Saat
perjanjian berlaku dan memiliki kekuatan mengikat secara hukum ;
3. Obyek
transaksi yang diperjualbelikan;
4. Mekanisme
peralihan hak;
5. Hubungan
hukum dan pertanggungjawaban para pihak yang terlibat dalam
transaksi baik
penjual, pembeli, maupun para pendukung seperti perbankan,
internet
service provider (ISP),dan lain-lain;
6. Legalitas
dokumen catatan elektronik serta tanda tangan digital sebagai alat
bukti;
7. Mekanisme
penyelesaian sengketa;
8. Pilihan
hukum dan forum peradilan yang berwenang dalam penyelesaian
sengketa.
9. Masalah
perlindungan konsumen, HAKI dan lain-lain.
Dengan
munculnya undang-undang No 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
(UU ITE) memberikan dua hal penting yakni, pertama pengakuan transaksi
elektronik dan dokumen elektronik dalam kerangka hukum perikatan dan hukum
pembuktian, sehingga kepastian hukum transaksi elektronik dapat terjamin dan
yang kedua diklasifikasikannya tindakan-tindakan yang termasuk kualifikasi
pelanggaran hukum terkait penyalahgunaan TI (Teknologi Informasi) disertai
dengan sanksi pidananya. Dengan adanya pengakuan terhadap transaksi elektronik
dan dokumen elektronik maka setidaknya kegiatan ecommerce mempunyai basis
legalnya.
Walaupun
beberapa permasalahan yang ada sudah dapat diselesaikan dengan munculnya UU ITE
ini, namun mengenai masalah perlindungan konsumen dalam e-commerce masih perlu untuk dikaji lebih
dalam, apakah UU ITE sudah mampu memberikan perlindungan hukum bagi konsumen.
Hak konsumen
yang diabaikan oleh pelaku usaha perlu dicermati secara seksama. Pada era
globalisasi dan perdagangan bebas saat ini, banyak bermunculan berbagai macam
produk barang/pelayanan jasa yang dipasarkan kepada konsumen, baik melalui
promosi, iklan, maupun penawaran secara langsung.
Jika tidak
berhatihati dalam memilih produk barang/jasa yang diinginkan, konsumen hanya
akan menjadi obyek eksploitasi dari pelaku usaha yang tidak bertanggung jawab. Tanpa
disadari, konsumen menerima begitu saja barang/jasa yang dikonsumsinya. Kehadiran e-commerce memberikan kemanjaan yang luar
biasa kepada konsumen, karena konsumen tidak perlu keluar rumah untuk
berbelanja disamping itu pilihan barang/jasapun beragam dengan harga yang
relatif lebih murah.
Hal ini menjadi
tantangan yang positif dan sekaligus negatif. Dikatakan positif karena kondisi
tersebut dapat memberikan manfaat bagi konsumen untuk memilih secara bebas
barang/jasa yang diinginkannya. Konsumen memiliki kebebasan untuk menentukan
jenis dan kualitas barang/jasa sesuai dengan Universitas Sumatera
Utarakebutuhannya. Dikatakan negatif karena kondisi tersebut menyebabkan posisi
konsumen menjadi lebih lemah dari pada posisi pelaku usaha.
Jika dilihat
lebih lanjut, konsumen ternyata tidak hanya dihadapkan pada persoalan lemahnya
kesadaran dan ketidakmengertian (pendidikan) mereka terhadap hak-haknya sebagai
konsumen. Hak-hak yang dimaksud misalnya bahwa konsumen tidak mendapatkan
penjelasan tentang manfaat barang atau jasa yang dikonsumsi.
Lebih dari itu,
konsumen ternyata tidak memiliki bargaining position (posisi tawar) yang
berimbang dengan pihak pelaku usaha. Hal ini terlihat sekali pada perjanjian
baku yang siap untuk ditandatangani dan bentuk klausula baku atau ketentuan
baku yang tidak informatif dan tidak bisa ditawar-tawar lagi.
Menurut
Penjelasan Umum Undang-undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
(UUPK), faktor utama yang menjadi penyebab eksploitasi terhadap konsumen sering
terjadi karena masih rendahnya kesadaran konsumen akan haknya. Tentunya, hal
ini terkait erat dengan rendahnya pendidikan konsumen. Oleh karena itu
keberadaan UUPK adalah sebagai landasan hukum yang kuat bagi upaya pemberdayaan
konsumen.
Berdasarkan
kondisi diatas, upaya pemberdayaan konsumen menjadi sangat penting. Untuk
mewujudkan pemberdayaan konsumen akan sangat sulit jika mengharapakan kesadaran
dari pelaku usaha terlebih dahulu. Karena prinsip yang dianut oleh pelaku usaha
dalam menjalankan kegiatan perekonomiannya adalah prinsip ekonomi, yaitu
mendapatkan keuntungan yang semaksimal mungkin dengan modal seminimal mungkin.
Artinya, dengan pemikiran umum seperti ini, sangat mungkin konsumen akan
dirugikan baik secara langsung maupun tidak langsung.
Bagaimana isi tentang
undang-undang No.8 tahun 2008 ?
Pada tahun 2008, pemerintah Indonesia telah
menerbitkan Undang-Undang No 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik (UU ITE). Dalam UU ITE ini diatur mengenai transaksi elektronik
dimana salah satunya adalah kegiatan mengenai online shop ini. Sebelum membahas
lebih lanjut mengenai upaya UU ITE ini dalam memberikan perlindungan terhadap
konsumen ada baiknya kita mengerti terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan
transaksi elektronik.
Dalam pasal 1 ayat 2 UU ITE ini yang dimaksud dengan
transaksi elektronik adalah “perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan
Komputer, jaringan Komputer, dan/atau media elektronik lainnya”
Sesuai dengan pengertian diatas, maka kegiatan jual
beli yang dilakukan melalui komputer ataupun handphone dapat dikategorikan
sebagai suatu transaksi elektronik.
UU ITE juga mewajibkan pelaku usaha untuk memberikan
informasi yang lengkap dan benar. Kewajiban tersebut terdapat dalam Pasal 9 UU
ITE yang berbunyi :
“Pelaku usaha yang menawarkan produk melalui sistem
elektronik harus menyediakan informasi yang lengkap dan benar berkaitan dengan
syarat kontrak, produsen, dan produk yang ditawarkan”
Dalam penjelasannya disebutkan bahwa yang dimaksud
dengan “informasi yang lengkap dan benar” adalah meliputi :
1.
Informasi
yang memuat identitas serta status subjek hukum dan kompetensinya, baik sebagai
produsen, pemasok, penyelenggara maupun perantara;
2.
Informasi
lain yang menjelaskan hal tertentu yang menjadi syarat sahnya perjanjian serta
menjelaskan barang dan/atau jasa yang ditawarkan seperti nama, alamat, dan
deskripsi barang/jasa.
Saat ini banyak pelaku usaha di Indonesia yang
tidak mengetahui mengenai kewajibannya sebagai pelaku usaha. Masih banyak
pelaku usaha yang tidak mencantumkan alamatnya sebagai bentuk informasi yang
disediakan, ataupun deskripsi mengenai barang/jasa yang ditawarkan tidak
lengkap sehingga dapat merugikan konsumen.
Masalah lain yang dapat terjadi dalam suatu transaksi
jual beli secara online ini adalah masalah mengenai kapan saat terjadinya
transaksi jual-beli? Banyak penjual yang merasa sudah terjadi kesepakatan
sehingga sudah memesan barang yang akan dijual, namun pada saat barang tiba,
pembeli membatalkan untuk membeli barang tersebut dan berpendapat bahwa belum
terjadi kesepakatan sehingga terjadi kerugian bagi pihak penjual.
Hal inipun telah diatur dalam UU ITE dalam pasal 20 UU
ITE dijelaskan bahwa “kecuali ditentukan lain oleh para pihak, transaksi
elektronik terjadi pada saat penawaran transaksi yang dikirim oleh pengirim
telah diterima dan disetujui oleh penerima”. Hal ini sesuai dengan prinsip
hukum perdata dimana suatu perjanjian terjadi pada saat tercapainya kata
sepakat. Oleh karena itu, setelah penjual dan pembeli sepakat untuk melakukan
perjanjian jual-beli, maka penjual dan pembeli tersebut sudah terikat dan
memiliki kewajiban untuk mematuhi perjanjian tersebut. Untuk itu ada baiknya
bahwa pernyataan “sepakat” tersebut disimpan sehingga dapat digunakan sebagai
alat bukti untuk menyatakan bahwa telah terjadi kesepakatan apabila dikemudian
hari terjadi suatu perselisihan mengenai hal tersebut.
Satu hal yang menjadi permasalahan utama dalam
perdagangan melalui online shop ini adalah baik penjual dan pembeli kekurangan
informasi antara satu dengan lainnya. Informasi menjadi penting dalam sistem
perdagangan melalui online shop ini dikarenakan penjual dan pembeli tidak
bertemu secara langsung pada saat transaksi jual beli terjadi. Masing-masing
pihak baik itu penjual maupun pembeli merasa khawatir bahwa salah satu pihak
tidak akan melaksanakan kewajibannya dan menyebabkan kerugian bagi pihak
lainnya. Salah satu contoh kasus yang sering terjadi pada sistem perdagangan
online adalah bahwa penjual tidak mengirimkan barangnya meskipun
pembayaran telah dilakukan. Apakah perbuatan tersebut dapat dikategorikan
sebagai “penipuan”? Lalu bagaimana perlindungan terhadap konsumen yang
telah dirugikan tersebut ?
Pada dasarnya penipuan secara online tidak jauh
berbeda dengan penipuan secara konvensional. Yang membedakan hanyalah sarana
perbuatannya, dalam penipuan secara online, penipuan tersebut menggunakan
sarana elektronik. Karena itu, penipuan secara online dapat dikenakan pasal 378
KUHP yang berbunyi :
“Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri
sendiri atau orang lain dengan melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau
martabat palsu, dengan tipu muslihat ataupun dengan rangkaian kebohongan
menggerakkan orang lain untuk menyerahkan sesuatu benda kepadanya, atau supaya
memberi hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan
pidana penjara paling lama 4 tahun.”
UU ITE juga telah mengatur bentuk penipuan secara
online ini. Dalam pasal 28 ayat (1) UU ITE disebutkan bahwa :
Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak
menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen
dalam Transaksi Elektronik.
Dalam pasal 45 ayat 2 UU ITE menyebutkan bahwa ancaman
pidana dari penipuan secara online ini adalah penjara paling lama 6 (enam)
tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1 Milyar.
Meskipun UU ITE ini sudah memberikan pengaturan
mengenai permasalahan yang mungkin terjadi dalam perdagangan melalui sistem
online ini, namun pada kenyataannya permasalahan ini tidak dapat diselesaikan
hanya melalui pengaturan UU ITE ini saja. Saat ini, belum ada mekanisme
pengaduan yang mudah bagi pihak yang menderita kerugian. Mekanisme yang ada
saat ini hanyalah sistem pengaduan sesuai dengan KUHAP (Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana). Mekanisme ini dinilai kurang cocok jika diterapkan pada
sistem pengaduan dalam perdagangan online. Nilai transaksi yang tidak terlalu
besar menjadi salah satu pertimbangan bagi pihak yang menderita kerugian untuk
tidak melaporkan kerugian itu kepada aparat penegak hukum. Terlebih lagi,
terdapat paradigma bahwa biaya untuk pelaporan tersebut lebih besar daripada
kerugiannya itu sendiri.
Untuk itu, dibutuhkan suatu sistem pengaduan yang
cepat, mudah dan terutama harus secara online juga. Ada baiknya aparat penegak
hukum juga mengeluarkan daftar hitam/blacklist bagi pengguna perdagangan secara
online ini yang telah terbukti merugikan pihak lain. Dengan cara ini, maka para
pelanggan akan semakin merasa aman dan tidak menimbulkan ke khawatiran akan
adanya suatu penipuan dalam perdagangan online atau e-commerce.
Ada sumber buku nya engga ya?
BalasHapusBagaimana Annalisa hukum UUITE terhadap mata uang digital... Contoh bitcoin dicryptocurency
BalasHapus