Rabu, 25 Juni 2014

Tagged Under: , ,

Aspek Hukum dalam Bisnis Online (UU No 11 tahun 2008)

By: Unknown On: 04.56
  • Share The Gag

  • Perkembangan dunia digital, khususnya internet saat ini sudah begitu mengglobal. Internet bukan lagi suatu hal yang baru dalam fase pertumbuhan dan perkembangan teknologi. Perkembangan teknologi yang sangat pesat ini telah membawa banyak perubahan bagi pola kehidupan sebagian masyarakat Indonesia.
    Pola kehidupan tersebut terjadi hampir di semua bidang, baik sosial, budaya, perdagangan dan bidang lainnya. Dalam bidang perdagangan, internet mulai banyak dimanfaatkan sebagai  media aktivitas bisnis terutama karena kontribusinya terhadap efisiensi. Aktivitas perdagangan melalui media internet ini populer disebut dengan  electronic commerce (e-commerce). E-commerce  tersebut terbagi atas dua segmen yaitu business to business e-commerce  (perdagangan antar pelaku usaha) dan business to consumer e-commerce (perdagangan antar pelaku usaha dengan konsumen).
    Perkembangan teknologi informasi yang sangat pesat menimbulkan adanya suatu gaya baru dalam sistem perdagangan. Beberapa tahun terakhir perdagangan online semakin marak terjadi di Indonesia. Sebut saja Kaskus, berniaga.com, bahkan online shop yang menggunakan facebook atau handphone sebagai alat pemasarannya. Orang-orang berlomba untuk meraup keuntungan dan pendapatan yang lebih dengan memanfaatkan teknologi informasi ini. Tidak dapat dipungkiri lagi, Online Shop menjadi salah satu alternatif yang paling menarik bagi konsumen untuk berbelanja selain berbelanja secara fisik.
    Bagi pelaku usaha, online shop dianggap menarik karena tidak memerlukan modal yang besar, pasar yang besar karena internet dapat diakses oleh para konsumen dari seluruh dunia, dan lainnya. Sedangkan bagi para konsumen, berbelanja di online shop dianggap lebih menarik karena harga yang ditawarkan biasanya lebih murah daripada berbelanja secara fisik. Namun dibalik semua kemudahan tersebut, online shop masih menyisakan beberapa persoalan tertutama dalam perlindungan konsumen seperti permasalahan mengenai penipuan, atau barang yang tidak sesuai dengan yang ditawarkan.
    Salah seorang pakar internet Indonesia, Budi Raharjo menilai bahwa, Indonesia memiliki potensi dan prospek yang cukup menjanjikan untuk pengembangan  e-commerce. Berbagai kendala yang dihadapi dalam pengembangan  e-commerce  ini seperti keterbatasan infrastruktur, jaminan keamanan transaksi dan terutama sumber daya manusia bisa diupayakan sekaligus dengan upaya pengembangan pranata e-commerce itu .
    Bagaimanapun, kompetensi teknologi dan manfaat yang diperoleh memang seringkali  harus melalui proses yang cukup panjang. Namun mengabaikan pengembangan kemampuan teknologi akan menimbulkan ekses negatif di masa depan. Keterbukaan dan sifat proaktif serta antisipatif merupakan alternatif yang dapat dipilih dalam menghadapi dinamika perkembangan teknologi. 
    Learning by doing  adalah alternative terbaik untuk menghadapi  fenomena e-commerce karena mau tak mau Indonesia sudah menjadi bagian dari pasar e-commerce global. Meski belum sempurna , segala sarana dan pra-sarana yang tersedia dapat dimanfaatkan sambil terus direvisi selaras dengan perkembangan mutakhir.
    E-commerce telah banyak digunakan seiring dengan meningkatnya pengguna internet di Indonesia. Menurut data Departemen Telekomunikasi, jumlah pengguna internet pada bulan februari 2008 mencapai 25 juta pengguna dan diprediksi akan mencapai 40 juta pengguna pada akhir tahun 2008. Sebelum keluarnya Undang-undang No.11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan e-commerce diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan seperti Undang-undang nomor 12 tahun 2002 tentang Hak Cipta, Undang-undang nomor 14 tahun 2001 tentang Paten, Undang-undang nomor 15 tahun 2001 tentang Merek, Undangundang Telekomunikasi nomor 36 tahun 1999, Undang-undang nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, dan lain-lain.
    Kekosongan hukum yang mengatur tentang E-commerce menimbulkan masalah-masalah seperti :
    1. Otentikasi subyek hukum yang membuat transaksi melalui internet;
    2. Saat perjanjian berlaku dan memiliki kekuatan mengikat secara hukum ;
    3. Obyek transaksi yang diperjualbelikan;
    4. Mekanisme peralihan hak;
    5. Hubungan hukum dan pertanggungjawaban para pihak yang terlibat dalam
    transaksi baik penjual, pembeli, maupun para pendukung seperti perbankan,
    internet service provider (ISP),dan lain-lain;
    6. Legalitas dokumen catatan elektronik serta tanda tangan digital sebagai alat
    bukti;
    7. Mekanisme penyelesaian sengketa;
    8. Pilihan hukum dan forum peradilan yang berwenang dalam penyelesaian
    sengketa.
    9. Masalah perlindungan konsumen, HAKI dan lain-lain.
    Dengan munculnya undang-undang No 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) memberikan dua hal penting yakni, pertama pengakuan transaksi elektronik dan dokumen elektronik dalam kerangka hukum perikatan dan hukum pembuktian, sehingga kepastian hukum transaksi elektronik dapat terjamin dan yang kedua diklasifikasikannya tindakan-tindakan yang termasuk kualifikasi pelanggaran hukum terkait penyalahgunaan TI (Teknologi Informasi) disertai dengan sanksi pidananya. Dengan adanya pengakuan terhadap transaksi elektronik dan dokumen elektronik maka setidaknya kegiatan ecommerce mempunyai basis legalnya.
    Walaupun beberapa permasalahan yang ada sudah dapat diselesaikan dengan munculnya UU ITE ini, namun mengenai masalah perlindungan konsumen dalam  e-commerce masih perlu untuk dikaji lebih dalam, apakah UU ITE sudah mampu memberikan perlindungan hukum bagi konsumen.
    Hak konsumen yang diabaikan oleh pelaku usaha perlu dicermati secara seksama. Pada era globalisasi dan perdagangan bebas saat ini, banyak bermunculan berbagai macam produk barang/pelayanan jasa yang dipasarkan kepada konsumen, baik melalui promosi, iklan, maupun penawaran secara langsung.
    Jika tidak berhatihati dalam memilih produk barang/jasa yang diinginkan, konsumen hanya akan menjadi obyek eksploitasi dari pelaku usaha yang tidak bertanggung jawab. Tanpa disadari, konsumen menerima begitu saja barang/jasa yang dikonsumsinya. Kehadiran  e-commerce memberikan kemanjaan yang luar biasa kepada konsumen, karena konsumen tidak perlu keluar rumah untuk berbelanja disamping itu pilihan barang/jasapun beragam dengan harga yang relatif lebih murah.
    Hal ini menjadi tantangan yang positif dan sekaligus negatif. Dikatakan positif karena kondisi tersebut dapat memberikan manfaat bagi konsumen untuk memilih secara bebas barang/jasa yang diinginkannya. Konsumen memiliki kebebasan untuk menentukan jenis dan kualitas barang/jasa sesuai dengan Universitas Sumatera Utarakebutuhannya. Dikatakan negatif karena kondisi tersebut menyebabkan posisi konsumen menjadi lebih lemah dari pada posisi pelaku usaha.
    Jika dilihat lebih lanjut, konsumen ternyata tidak hanya dihadapkan pada persoalan lemahnya kesadaran dan ketidakmengertian (pendidikan) mereka terhadap hak-haknya sebagai konsumen. Hak-hak yang dimaksud misalnya bahwa konsumen tidak mendapatkan penjelasan tentang manfaat barang atau jasa yang dikonsumsi.
    Lebih dari itu, konsumen ternyata tidak memiliki bargaining position (posisi tawar) yang berimbang dengan pihak pelaku usaha. Hal ini terlihat sekali pada perjanjian baku yang siap untuk ditandatangani dan bentuk klausula baku atau ketentuan baku yang tidak informatif dan tidak bisa ditawar-tawar lagi.
    Menurut Penjelasan Umum Undang-undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK), faktor utama yang menjadi penyebab eksploitasi terhadap konsumen sering terjadi karena masih rendahnya kesadaran konsumen akan haknya. Tentunya, hal ini terkait erat dengan rendahnya pendidikan konsumen. Oleh karena itu keberadaan UUPK adalah sebagai landasan hukum yang kuat bagi upaya pemberdayaan konsumen.
    Berdasarkan kondisi diatas, upaya pemberdayaan konsumen menjadi sangat penting. Untuk mewujudkan pemberdayaan konsumen akan sangat sulit jika mengharapakan kesadaran dari pelaku usaha terlebih dahulu. Karena prinsip yang dianut oleh pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan perekonomiannya adalah prinsip ekonomi, yaitu mendapatkan keuntungan yang semaksimal mungkin dengan modal seminimal mungkin. Artinya, dengan pemikiran umum seperti ini, sangat mungkin konsumen akan dirugikan baik secara langsung maupun tidak langsung.
    Bagaimana isi tentang undang-undang No.8 tahun 2008 ?
    Pada tahun 2008, pemerintah Indonesia telah menerbitkan Undang-Undang No 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Dalam UU ITE ini diatur mengenai transaksi elektronik dimana salah satunya adalah kegiatan mengenai online shop ini. Sebelum membahas lebih lanjut mengenai upaya UU ITE ini dalam memberikan perlindungan terhadap konsumen ada baiknya kita mengerti terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan transaksi elektronik.
    Dalam pasal 1 ayat 2 UU ITE ini yang dimaksud dengan transaksi elektronik adalah “perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan Komputer, jaringan Komputer, dan/atau media elektronik lainnya”
    Sesuai dengan pengertian diatas, maka kegiatan jual beli yang dilakukan melalui komputer ataupun handphone dapat dikategorikan sebagai suatu transaksi elektronik.
    UU ITE juga mewajibkan pelaku usaha untuk memberikan informasi yang lengkap dan benar. Kewajiban tersebut terdapat dalam Pasal 9 UU ITE yang berbunyi :
    “Pelaku usaha yang menawarkan produk melalui sistem elektronik harus menyediakan informasi yang lengkap dan benar berkaitan dengan syarat kontrak, produsen, dan produk yang ditawarkan”
    Dalam penjelasannya disebutkan bahwa yang dimaksud dengan “informasi yang lengkap dan benar” adalah meliputi :
    1.                  Informasi yang memuat identitas serta status subjek hukum dan kompetensinya, baik sebagai produsen, pemasok, penyelenggara maupun perantara;
    2.                  Informasi lain yang menjelaskan hal tertentu yang menjadi syarat sahnya perjanjian serta menjelaskan barang dan/atau jasa yang ditawarkan seperti nama, alamat, dan deskripsi barang/jasa.
     Saat ini banyak pelaku usaha di Indonesia yang tidak mengetahui mengenai kewajibannya sebagai pelaku usaha. Masih banyak pelaku usaha yang tidak mencantumkan alamatnya sebagai bentuk informasi yang disediakan, ataupun deskripsi mengenai barang/jasa yang ditawarkan tidak lengkap sehingga dapat merugikan konsumen.
    Masalah lain yang dapat terjadi dalam suatu transaksi jual beli secara online ini adalah masalah mengenai kapan saat terjadinya transaksi jual-beli? Banyak penjual yang merasa sudah terjadi kesepakatan sehingga sudah memesan barang yang akan dijual, namun pada saat barang tiba, pembeli membatalkan untuk membeli barang tersebut dan berpendapat bahwa belum terjadi kesepakatan sehingga terjadi kerugian bagi pihak penjual.
    Hal inipun telah diatur dalam UU ITE dalam pasal 20 UU ITE dijelaskan bahwa “kecuali ditentukan lain oleh para pihak, transaksi elektronik terjadi pada saat penawaran transaksi yang dikirim oleh pengirim telah diterima dan disetujui oleh penerima”. Hal ini sesuai dengan prinsip hukum perdata dimana suatu perjanjian terjadi pada saat tercapainya kata sepakat. Oleh karena itu, setelah penjual dan pembeli sepakat untuk melakukan perjanjian jual-beli, maka penjual dan pembeli tersebut sudah terikat dan memiliki kewajiban untuk mematuhi perjanjian tersebut. Untuk itu ada baiknya bahwa pernyataan “sepakat” tersebut disimpan sehingga dapat digunakan sebagai alat bukti untuk menyatakan bahwa telah terjadi kesepakatan apabila dikemudian hari terjadi suatu perselisihan mengenai hal tersebut.
    Satu hal yang menjadi permasalahan utama dalam perdagangan melalui online shop ini adalah baik penjual dan pembeli kekurangan informasi antara satu dengan lainnya. Informasi menjadi penting dalam sistem perdagangan melalui online shop ini dikarenakan penjual dan pembeli tidak bertemu secara langsung pada saat transaksi jual beli terjadi. Masing-masing pihak baik itu penjual maupun pembeli merasa khawatir bahwa salah satu pihak tidak akan melaksanakan kewajibannya dan menyebabkan kerugian bagi pihak lainnya. Salah satu contoh kasus yang sering terjadi pada sistem perdagangan online adalah bahwa penjual tidak mengirimkan barangnya meskipun  pembayaran telah dilakukan. Apakah perbuatan tersebut dapat dikategorikan sebagai “penipuan”? Lalu bagaimana perlindungan terhadap konsumen yang telah dirugikan tersebut ?
    Pada dasarnya penipuan secara online tidak jauh berbeda dengan penipuan secara konvensional. Yang membedakan hanyalah sarana perbuatannya, dalam penipuan secara online, penipuan tersebut menggunakan sarana elektronik. Karena itu, penipuan secara online dapat dikenakan pasal 378 KUHP yang berbunyi :
    “Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat ataupun dengan rangkaian kebohongan menggerakkan orang lain untuk menyerahkan sesuatu benda kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama 4 tahun.”
    UU ITE juga telah mengatur bentuk penipuan secara online ini. Dalam pasal 28 ayat (1) UU ITE disebutkan bahwa :
     Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik.
    Dalam pasal 45 ayat 2 UU ITE menyebutkan bahwa ancaman pidana dari penipuan secara online ini adalah penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1 Milyar.
    Meskipun UU ITE ini sudah memberikan pengaturan mengenai permasalahan yang mungkin terjadi dalam perdagangan melalui sistem online ini, namun pada kenyataannya permasalahan ini tidak dapat diselesaikan hanya melalui pengaturan UU ITE ini saja. Saat ini, belum ada mekanisme pengaduan yang mudah bagi pihak yang menderita kerugian. Mekanisme yang ada saat ini hanyalah sistem pengaduan sesuai dengan KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana). Mekanisme ini dinilai kurang cocok jika diterapkan pada sistem pengaduan dalam perdagangan online. Nilai transaksi yang tidak terlalu besar menjadi salah satu pertimbangan bagi pihak yang menderita kerugian untuk tidak melaporkan kerugian itu kepada aparat penegak hukum. Terlebih lagi, terdapat paradigma bahwa biaya untuk pelaporan tersebut lebih besar daripada kerugiannya itu sendiri.
    Untuk itu, dibutuhkan suatu sistem pengaduan yang cepat, mudah dan terutama harus secara online juga. Ada baiknya aparat penegak hukum juga mengeluarkan daftar hitam/blacklist bagi pengguna perdagangan secara online ini yang telah terbukti merugikan pihak lain. Dengan cara ini, maka para pelanggan akan semakin merasa aman dan tidak menimbulkan ke khawatiran akan adanya suatu penipuan dalam perdagangan online atau e-commerce.



    2 komentar:

    1. Ada sumber buku nya engga ya?

      BalasHapus
    2. Bagaimana Annalisa hukum UUITE terhadap mata uang digital... Contoh bitcoin dicryptocurency

      BalasHapus